Bidan Karsiem
BANDAR LAMPUNG, POTRET SUARA WAJAR – Anda khususnya yang berdomisili di Bandar Lampung, pernahkah mendengar nama Rumah Bersalin yang diasuh Bidan Karsiem? Rumah bersalin itu tepatnya berada di RT IV lingkungan II, Kelurahan Rawa Laut, Kecamantan Tanjung Karang Timur. Atau bahkan Anda lahir di rumah bersalin ini? Pada tahun 60 sampai 70-an Rumah Bersalin Bidan Karsiem ini cukup terkenal.
Sabtu pagi, 19 Maret 2016, saat Suara Wajar berkunjung ke kediaman Bidan Karsiem, anjing-anjing penjaga menyambut dengan gonggongan tak bersahabat. Kamipun ketakutan, sehingga seorang bapak penjaga rumah itu mencoba menenangkan anjing-anjing tersebut. Kami diantarkan sampai ke ruang tamu, tempat Bidan Karsiem yang telah menunggu kedatangan Suara Wajar sejak pagi.
Wanita berusia 91 tahun ini, nampaknya baru selesai menyantap sarapan pagi yang disiapkan anak-anaknya. Mendengar derap langkah kaki kami, derit kursi roda yang diduduki Bidan Karsiem terdengar mendekat ke ruang tamu. Kedua putrinya yang mendampinginya, turut menyambut dengan senyuman ramah.
Bidan Karsiem memiliki nama lengkap Lidwina Sukarsiem. Istri dari mendiang Stephanus Hartono ini, lahir di Dusun Cibuk, Sleman, Yogjakarta pada 8 April 1925. Untuk menjadi seorang “bidan mumpuni” dibutuhkan perjalanan hidup yang tidak mudah.
Dengan gamblang, Karsiem menuturkan riwayat pendidikan yang ditempuh sehingga menjadi bidan yang namanya tersohor, khususnya di Bandar Lampung hingga sekarang.
Sekolah Bumi Putera (Inlandsch School) atau Sekolah Rakyat Ongko Loro Sleman, merupakan tonggak awal Karsiem kecil mengenyam pendidikan. Sekolah Rakyat Ongko Loro merupakan sekolah dasar bagi rakyat kebanyakan (Bumi Putera) yang menggunakan pengantar bahasa Daerah (Red. Jawa) dengan lama pendidikan lima tahun. Di sekolah ini ditempuh Karsiem sampai dengan tahun 1935.
Kemudian Karsiem berpindah ke Schakel School, yaitu sekolah peralihan. Sekolah ini masih tergolong tingkat Sekolah Dasar, namun menggunakan bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama pendidikan juga lima tahun.
Schakel School tempat Karsiem bersekolah adalah Schakel School Kanisius di Muntilan, Kabupaten Magelang. Sekolah ini konon didirikan dengan karya Misi Gereja Katolik. Di sekolah ini, Karsiem menyelesaikannya sampai dengan tahun 1935.
Karsiem mengakui bahwa dia bukan berasal dari keluarga Katolik. Orang tua Karsiem penganut Muslim yang taat. Saat masih kanak-kanak, Ayah Karsiem meninggal, sehingga ia berada di bawah pengasuhan kakek-nenek buyutnya. Kakek buyutnya kala itu menjabat Kamituwo. Kamituwo merupakan jabatan kepala daerah setingkat dusun (di bawah tingkatan desa atau kelurahan) kala itu.
Menurut penuturannya, Karsiem mengambil keputusan menjadi penganut Katolik berkat ajakan kakak sahabat karibnya yang bertetangga dengan rumah kakeknya. Atas usulan sahabatnya, Karsiem kecil diajak untuk bersekolah di Schakel Scool Kanisius di Muntilan, Magelang.
Di sekolah Kanisius yang juga mengajarkan pelajaran Agama Katolik ini, benih-benih kekatolikan di dalam diri Karsiem mulai tumbuh. Apalagi saat bertemu dengan salah seorang pengajar Agama Katolik pada sekolah tersebut bernama Padmo. Berkat bimbingannya, Karsiem pun mulai mantab memeluk Katolik. Pada kemudian hari diketahui, bahwa Padmo adalah salah satu tokoh Katolik di tanah Jawa pada eranya. Diakui anak dari seorang polisi ini, keputusannya memeluk katolik tidak mendapat halangan dari keluarganya. Pada usia 12 tahun, dia dibabtis.
Tahun 1942, Jepang masuk ke tanah Jawa. Tersiar kabar bahwa tentara Jepang berusaha ‘menangkapi’ para gadis-gadis yang berasal dari rakyat biasa untuk dijadikan Jugun ianfu atau wanita penghibur. Karena takut ditangkap tentara Jepang, keluarga memutuskan agar Karsiem dititipkan ke salah satu Biara Suster di Ambarawa.
Pada Biara Suster di Ambarawa yang didalamnya terdapat rumah sakit inilah, jalan hidup Karsiem mulai terbuka. Karsiem yang kala itu mula menginjak usia 17 tahun memperoleh pendidikan keperawatan disini. Usai merampungkan Sekolah Perawat pada tahun 1949, Karsiem kemudian bekerja di Rumah Sakit Umum Muntilan (Rumah Sakit itu sebelumnya adalah Rumah Sakit Katolik).
Dengan mendapat ikatan dinas, Karsiem melanjutkan belajar di sekolah kebidanan pada Rumah Sakit Budi Kemuliaan, Jakarta. Walau dirinya kala itu menjadi satu-satunya siswa Sekolah Bidan yang beragama Katolik, tapi hal itu tidak membuat teman-temannya menyingkirkannya, tapi justru sebaliknya.
Di tahun 1953 Karsiem mendapatkan tugas menjadi bidan di Bandar Lampung. Di tempat inilah, Karsiem mendapatkan tempat di hati masyarakat Bandar Lampung. Teringat oleh Karsiem, pertama kali menginjakkan kaki di Bandar Lampung diterima oleh dr. Dadi Tjokrodipo. Nama dokter ini sekarang diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit di Badar Lampung, yakni Rumah Sakit Umum Daerah Dr. A. Dadi Tjokrodipo. Setelah beberapa tahun Karsiem dipercaya memimpin Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) di Simpur dan Teluk Betung.
Maret tahun 1953 bertepatan dengan bulan suci ramadan, awal pertemuan Karsiem dengan Hartono yang kelak menjadi suaminya. Meskipun usia Hartono terpaut delapan tahun lebih muda dari Karsiem, tapi tidak menjadi halangan keduanya berumah tangga.
Hartono waktu itu bekerja sebagai guru ikatan dinas dari Perguruan Taman Siswa. Mereka di Jawa adalah tetangga satu desa. Awal mula keduanya sering bertemu, saat Karsiem mendapatkan mandat dari Keuskupan Tanjungkarang untuk membentuk padvinder katolik. Padvinder sekarang bernama Pramuka.
Hartono dikenal sebagai pemuda yang aktif dalam organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang berada di bawah naungan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) bentukan Bung Karno.
Ada pepatah jawa yang menyebutkan witing tresna amarga saka kulina yang artinya mulai ‘benih’ cinta tumbuh akibat sering bertemu. Ini lah yang terjadi pada Hartono dan Karsiem. Dengan meminta pendapat Pastor Van Buren, SCJ (Partor Kepala Paroki Kristus Raja Tanjungkarang kala itu) akhirnya mereka melangsungkan pernikahan.
Diceritakan oleh Karsiem bahwa awal mula keluarganya jaya pada bidang ekonomi saat mulai aktif membantu gereja. Berawal saat Uskup Keuskupan Tanjungkarang waktu Mgr. Albertus Gentiaras Hermelink, SCJ memberi tugas mengurus barang-barang kiriman dari luar negeri. Dari situlah dia mendapatkan banyak relasi dari kegiatan ekspor impor yang dipercayakan keuskupan padanya.
Dari relasi inilah, keluarga Hartono mulai mencoba berwiraswata, diantaranya dengan melakukan jual-beli vespa, dan lain-lain. Semua bisnis yang dijalani diakui Karsiem berlangsung lancar.
Sebagai informasi, pasangan Stephanus Hartono dan Ludwina Karsiem dikaruniai sepuluh orang anak. Oleh masyarakat Lampung, khususnya umat katolik dikenal sebagai tokoh mayarakat yang dermawan. Atas kedermawanannya ini keluarga ini memiliki banyak sahabat, baik dari kalangan bawah maupun atas.***
Reporter : Robert
Editor : Kakek Boncel