RP Yohanes Avila Suryo, SCJ

RP Yohanes Avila Suryo, SCJ Superior SCJ Wilayah Lampung, di ruang kerjanya di

RP Yohanes Avila Suryo, SCJ, Superior SCJ Wilayah Lampung.

“Orang yang jarang mengaku dosa, itu ibaratnya orang yang makan dari piring yang tidak pernah dibersihkan. Maka perlulah dibersihkan, mulai hidup lagi, dan makanan rohani yang kita makan itu bisa masuk, bisa segar, bereaksi di dalam hati dan tubuh kita,” — Romo Suryo, SCJ –.

BANDAR LAMPUNG, RADIO SUARA WAJAR – Jam menunjukan pukul 09.00 WIB saat Suara Wajar tiba di Biara SCJ, Jalan Cipto Mangunkusumo No. 14/16 Teluk Betung, Bandar Lampung, Sabtu 05 Maret 2016. Mentari mulai bernyali pagi ini menyebarakan sinar-sinarnya di daerah dataran rendah Bandar Lampung, Teluk Betung.

Di teras Biara, tak jauh dari tempat Suara Wajar memarkir kendaraan, RP Yohanes Avila Suryo, SCJ nampak tengelam pada tumpukan koran yang tengah dibacanya. Hamparan bunga di taman yang menghadap persis teras rumah, sedikit menambah elok Biara SCJ satu-satunya di Bandar Lampung ini. Pada bagian utara bagunan biara ini, dua ekor anjing yang tidak pantas disebut “anjing penjaga”, telihat kalem merespon. Tidak seperti anjing pada umumnya yang agresif ketika melihat orang asing masuk teritorial rumah majikannya. Ini sebaliknya.

Romo Suryo — panggilan akrab RP Yohanes Avila Suryo, SCJ — , 63 tahun, memang tengah menunggu kedatangan Suara Wajar. Ia, baru saja selesai berolah raga dengan sepeda kesayangan miliknya. Kegiatan rutin untuk menjaga kebugaran tubuh yang dilakukan Romo Suryo setiap pagi. Senyum tipis mengembang dari bibirnya, dan Ia pun langsung mempersilahkan Suara Wajar masuk dalam ruang tamu. Pada ruang inilah, RP Yohanes Avila Suryo, SCJ memulai kisah panjang perjalanan hidupnya.

Suara bising kendaraan yang lalu lalang di jalan depan biara mengiringi perbincangan santai pagi itu dengan Pemimpin para Imam SCJ di Keuskupan Tanjungkarang ini. beberapa kali dua anjing peliharaan yang seakan berbagi tugas hilir mudik di depan pintu mengawasi ketat kami.

Romo Suryo merupakan anak kelima dari enam bersaudara. Pria kelahiran Wates, Kulon Progo, Jawa Tengah 28 Februari 1953 ini, mengaku tertarik menjadi seorang imam saat masih belia.

“Umur lima tahun transmigrasi ke Belitang, Sumatera Selatan. Disanalah saya mengalami masa kecil, bersekolah disana di Desa Karang Binangun,” jelas Romo Suryo.

Intensistas serta kecintaannya terlibat menjadi pelayan Misa (petugas misdinar) merupakan awal timbuhnya benih-benih panggilan dalam dirinya.

“Jadi kalau Romo itu mau ke arah stasi yang melewati tempat saya (Stasi Karang Binangun), saya nyegat di pinggir jalan, saya ikut. Nanti pulangnya turun di pinggi jalan, terus kembali ke rumah. Jadi ada ketertarikan (menjadi Imam) disitu,” kenang Romo Suryo.

Sejak ditahbis menjadi Diakon pada Mei 1981 di Baradatu dan Imam 15 Juli 1981 di Gumawang, Belitang, Ogan Komering Ulu Timur, Sumatera Selatan, berbagai tempat tugas pelayanan dipercayakan padanya. Di Keuskupan Tanjungkarang, Romo Suryo pernah melayani di beberapa paroki. Diantaranya Paroki Baradatu, Kota Gajah, Katedral dan Teluk Betung. Karena kejujuran dan kecerdasan dalam pembukuan, Romo Suryo pernah dipercaya oleh Mgr. Dr. Andreas Hendri Soesanta, SCJ (Uskup Keuskupan Tanjungkarang kala itu) menjadi Ekonom Keuskupan.

“Ada pengalaman saya masuk ke sebuah kapel, masih dikunci, orang belum datang dan belum dibersihkan, belum disiapkan. Bisa memancing kita jengkel. Tapi kemudian saya pikir-pikir kalau macam ini terus kejengkelan tidak berujung. Akhinya saya ambil keputusan saya mau menginap di tempat itu,” cerita Superior SCJ wilayah Lampung ini.

Dari berbagai tempat tugas pelayanan baik di dalam maupun di luar Keuskupan Tanjungkarang, Paroki Baradatu baginya yang paling “menantang”. Karena di paroki ini, Romo Suryo bisa dikatakan sebagai perintis berdirinya stasi-stasi yang kala itu masih bagian wilayah Paroki Kota Bumi, Lampung Utara. Dengan berbagai daya dan upaya, Romo Suryo mengumpulkan umat katolik yang masih bercerai berai dan mendirikan stasi-stasi beserta gerejanya.

“Pernah suatu ketika mau cari akal untuk mencari umat di sebuah wilayah transmigrasi, pura-puranya mobil rusak. Saya buka kap mobil itu dan mulai dandan-dandan agak lama, akhirnya ada orang datang. Kita berkomunikasi lalu tanya-tanya ada orang Katolik gak disini? Ada pak. Lalu ditunjukan rumahnya,” kenang Romo Suryo.

Sejak tahun 2014 lalu, Romo Suryo dipercaya oleh Kongregasi Imam-Imam Hati Kudus Yesus (SCJ) Propinsi Indonesia, sebagai Superior SCJ Wilayah Lampung. Selain itu, Romo Suryo juga diberi kepercayaan oleh Keuskupan Tanjungkarang sebagai Imam Pendamping (Moderator) kelompok-kelompok devosional.

“Devosi kan sifatnya kecocokan pribadi. Bisa berkembang sampai tidak terkendali itu. Kemungkinan-kemungkinan itu tetap terbuka. Maka dari pihak keuskupan ambil kebijakan bahwa di setiap keuskupan harus ada pendampingnya, nah kebetulan saya yang ditunjuk,” terangnya.

Menurut anak dari pasangan Martina Rujiem dan Vincentius Darmo Sumarto ini, cara menghidupi panggilan baginya dan untuk seluruh imam, biarawan dan biarawati pada khususnya, adalah dengan “doa”. Dalam Doa terdapat kekuatan untuk hidup setia dalam panggilan. Doa menurut Romo Suryo, merupakan suatu kewajiban bagi seorang imam, biarawan dan biarawati yang tidak boleh ditinggalkan.

“Biarawan atau biarawati itu sudah tidak aktif lagi dengan tugasnya, karena sudah sakit atau sudah sepuh (tua), sudah tidak kuat lagi yang ini masih bisa dilakukan. Berdoa atau mendoakan orang lain, medoakan gereja, medoakan romo-romo yang masih aktif supaya tetap setia. Ini selain menguatkan dirinya juga menguatkan yang didoakan. Ini menyuburkan panggilan,” kata Romo Suryo.

Diakhir pebincangan, Romo Suryo berpesan agar umat kristinai hendaknya untuk mulai membiasakan melakukan perbuatan baik dan benar secara berulang-ulang. Karena menjadi orang baik diperlukan proses yang tidak singkat. Untuk itu, mengaku dosa mutlak diperlukan untuk berproses menjadi orang baik.

“Orang yang jarang mengaku dosa, itu ibaratnya orang yang makan dari piring yang tidak pernah dibersihkan. Maka perlulah dibersihkan, mulai hidup lagi, dan makanan rohani yang kita makan itu bisa masuk, bisa segar, bereaksi di dalam hati dan tubuh kita,” pungkasnya.***

Reporter : Robert

1895 Total Views 1 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *