Suku di Maluku
1. Suku Togutil
Togutil adalah suku yang hidup di pedalaman hutan Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara. Togutil sendiri memiliki arti “suku yang hidup di hutan” atau dalam bahasa Halmahera pongana mo nyawa. Cara hidup Togutil adalah dengan berpindah-pindah di dalam hutan Wasile, yang terletak di sisi timur Ternate. Jarak terdekat bisa ditempuh melalui Buli, sebuah kota kecamatan di Halmahera Timur. Dari Kota Buli perjalanan menempuh sejauh 40 kilometer menuju hutan Wasile. Penelitian tentang Togutil sendiri masih terbatas dan asal muasalnya masih menjadi pertanyaan. Warga Suku Togutil hidup dalam kondisi primitif, bahkan tidak mengenal huruf.
Dari sisi bahasa, suku ini memiliki rumpun yang sama dengan Suku Tobelo. Mereka hidup berkelompok, satu rumah bisa dihuni dua atau tiga keluarga. Dari sisi pekerjaan, suku ini tak bercocok tanam dan hanya mengandalkan hasil hutan. Suku Togutil sebenarnya telah mengenal peradaban luar, namun mereka memilih menjauhi modernitas. Tradisi turun-temurun membawa mereka ke kerangka hidup sederhana dan terus dipertahankan. Misalnya dalam hal makanan pokok, seperti kebanyakan warga di wilayah Indonesia timur, sagu menjadi pilihan. Dalam suku ini, kaum pria menempati posisi dominan untuk mengolah hasil hutan seperti sagu. Pohon sagu yang ditebang diambil seratnya dan serat yang sudah larut diayak untuk kemudian dikeringkan. Selesai mengolah sagu, mereka pun pulang. Stok sagu di ladang dapat bertahan hingga berpekan-pekan.
Selain hutan, aliran sungai ikut menjadi sumber penghidupan mereka. Setiap malam, Suku Togutil gemar mencari kateko atau katak dan ikan. Dengan hoba atau panah trisula, mereka dapat mengintai katak dari jauh. Terkadang mereka dapat memakan hingga puluhan kodok dalam semalam. Kodok dan ikan sebagai pengganti protein bagi mereka. Tak hanya kaum lelaki, perempuan juga ikut mencari umbi-umbian. Umbi kayu memang juga menjadi sumber pangan utama bagi suku ini. Namun, berbeda dari suku lainnya, Togutil tak memiliki konsep pemimpin. Mereka sama dan saling berbagi tugas demi mengolah makan. Selain itu, setiap malam pria Togutil berkumpul bersama sambil menjaga pondokan mereka.
Suku Togutil di Halmahera yang tinggal di hutan diperkirakan masih sekitar 200 kepala keluarga. Sedangkan 46 kepala keluarga telah direlokasi di Kecamatan Wasile Timur. Menurut Bupati Halmahera Timur Rudi Irawan, program relokasi telah ada sejak 1967. Pada 2009 relokasi rumah mulai dibangun kembali. “Mula-mula mereka tidak betah karena biasa hidup di ruang terbuka,” ujar Rudi. Dari sisi kepercayaan, Suku Togutil percaya akan leluhur mereka yang masih bersemayam di hutan. Mereka umumnya menyembah arwah para leluhur. Setiap tiga hari suku ini melakukan ritual mi bahangarama atau menghaturkan doa ke leluhur. Goma terei atau dukun menyajikan sirih, pinang, dan kapur, di daun woka sebagai sesajian. Mereka percaya, di dalam beringin arwah leluhur berada. Syaiful Majid, peneliti kehidupan Suku Togutil dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, hampir dua tahun mendalami aspek budaya dan sosiologis dari suku ini. Menurut Syaiful, bagi suku ini hutan adalah sumber makanan. “Sehingga, dalam pemaknaan Suku Togutil, hutan adalah rumah mereka,” jelas Syaiful. Karena itu pula, menjaga hutan dianggap sama dengan menjaga rumah sendiri.
2. Suku Alune
Suku Alune adalah salah satu suku bangsa kuno di Pulau Seram, Indonesia. Jumlah anggotanya mencapai 17.000 jiwa dan menetap di 27 desa di wilayah barat-tengah pulau. Seperti Wemale, mereka berasal dari suku Patasiwa. Suku Alune mempertuturkan bahasa Melayu-Polinesia. Bahasa ini dikenal dengan nama Sapalewa atau Patasiwa Alfoeren dan memiliki beberapa dialek, meski jumlah penuturnya sedikit. Dialek paling banyak adalah dialek Rambatu. Seperti kelompok manusia kuno yang menetap di pedalaman Seram, suku Alune secara tradisional hidup dari hasil hutan. Makanan mereka berasal dari pohon sagu dan mempraktikkan penanaman berpindah.
Pria dan wanita mengenakan sedikit pakaian karena lingkungan yang lembap. Dalam kehidupan sehari-hari, orang dewasa Alune mengenakan kain pinggang pendek yang terbuat dari serat kulit, sama seperti baju tapa Polinesia. Kain pinggang ini memanjang hingga di atas lutut dan kadang memiliki pola dekoratif. Dalam perayaan khusus, pria Alune mengenakan baju perang dan membawa pedang panjang. Pria Alune terlibat dalam aktivitas perang terhadap suku-suku lain. Wanita Alune mengoleksi hasil hutan sambil ditemani anak-anak. Sama seperti Wemale, perayaan kedewasaan perempuan Alune adalah peristiwa penting. Suku Alune juga merupakan tukang kayu berpengalaman. Rumah-rumah kuno Alune berukuran besar dan dibangun dari kayu, ranting dan daun palem.
Budaya dan gaya hidup Alune berubah banyak dalam beberapa dasawarsa terakhir karena dampak konsumerisme. Juga, kekacauan politik dan keagamaan serta konflik di Indonesia memengaruhi banyak pulau di Maluku. Suku Nualulu: Masyarakat Nuaulu atau Naulu adalah sebuah suku yang berada di Seram, Maluku, Indonesia. Masyarakat Nuaulu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok utara dan kelompok selatan. Dengan jumlah sebanyak 2500 orang, tinggal di kecamatan Amahai Seram Tengah. Masyarakat Nuaulu Utara menghuni dua desa di pantai utara Pulau Seram tengah, sementara kelompok Selatan menghuni enam desa di pantai selatan dan pedalaman Kabupaten Amahai. Secara etnis terkait dengan Manusela, mereka mirip dengan Manusela dalam bahasa dan mengikuti keyakinan Pemeluk Naurus. Namun, mereka juga mengikuti agama Hindu, dan Hindu ditemukan dalam ritual mereka.
3. Suku Buru
Suku Buru adalah sebuah kelompok etnis yang kebanyakan tinggal di pulau Buru, Indonesia, serta pada beberapa Kepulauan Maluku lainnya. Mereka juga menyebut diri gebfuka atau gebemliar yang secara harfiah berarti “orang dunia” atau “orang tanah”. Orang Buru terkait dengan kelompok antropologi Indonesia Timur dan dari titik etnografis pandang yang sama dengan masyarakat adat lain dari pulau Buru. Mereka berbicara dalam bahasa Buru.