Tari Rejang, Sebuah Tari Pengabdian kepada Leluhur
RADIO SUARA WAJAR – Menari adalah salah satu cara yang digunakan manusia untuk menjalani ritual kepercayaan. Bagi masyarakat Bali, khususnya yang beragama Hindu, tari bukan hanya sebagai kegiatan seni namun juga bagian dari upacara keagamaan. Dalam hal ini, terdapat dua unsur kebudayaan yang saling berkaitan yaitu seni dan agama, dan Tari Rejang merupakan salah satu tarian yang mengandung kedua unsur tersebut.
Tari klasik dengan genre tari wali yang diciptakan pada abad 8-14 M ini biasa dibawakan di pura, merajan atau sanggah (tempat suci) saat upacara adat, sebagai rasa pengabdian terhadap leluhur. Tari ini dilakukan oleh perempuan saat mengikuti upacara persembahyangan dengan posisi berbaris, melingkar dan berpegangan tangan. Pada saat Upacara Pangider Buana, para penari mengelilingi sesajian dan berputar-putar sembari menuruti arah pradaksina. Penari Rejang biasanya menggunakan pakaian upacara adat dilengkapi dengan bunga-bunga emas di kepala. Rangkaian tersebut merupakan bagian dari makna pengabdian itu sendiri.
Koreografi dalam Tari Rejang sangat sederhana, tidak seperti tari lain yang memiliki tingkat kerumitan cukup tinggi. Dalam Tari Rejang, tak lebih dari 10 ragam gerak yang disajikan, sehingga gerakan yang ditampilkan dilakukan berulang-ulang. Tarian ini lebih menekankan pada nilai rasa dan penghayatan yang amat dalam.
Pada bagian akhir tarian, biasanya dilanjutkan dengan Tari Perang menggunakan berbagai macam senjata seperti Tombak, Gada, Cakra, Bajra, Bandrang dan lain sebagainya. Tari Perang menceritakan peperangan Dewata Nawasanga dengan para Raksasa ketika memutar Gunung Manara untuk merebut Tirta Amertha. Hingga kini Tari Rejang masih banyak ditampilkan di Bali dan beberapa tempat di Indonesia terutama saat merayakan upacara-upacara besar. Tari ini sudah mengalami pergesaran fungsi, tak hanya sebagai ritual keagamaan namun juga sebagai sarana hiburan.