Tolak Uji Materi UU Perkawinan, MK dikecam

0622c

Tolak Uji Materi UU Perkawinan, MK dikecam

ucanews.com – Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengecam keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Keputusan tersebut adalah menolak revisi Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

“Mahkamah berpendapat permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum dan menolak permohonan yang diajukan para pemohon seluruhnya,” kata Ketua MK Arief Hidayat di Ruang Sidang Utama MK, Jakarta Pusat, pekan lalu.

Juga, dengan pemohon yang berbeda, terkait batas minimal perempuan dilegalkan menikah. Pada Pasal 7 ayat 1, tertulis batas minimal perempuan menikah adalah 16 tahun. Pemohon meminta batas dinaikkan menjadi 18 tahun. Namun, majelis hakim Konstitusi mengatakan tidak ada jaminan peningkatan batas usia menikah dari 16 tahun ke 18 tahun untuk perempuan akan dapat mengurangi masalah perceraian, kesehatan, serta masalah sosial.

“Tidak ada jaminan yang dapat memastikan bahwa dengan ditingkatkannya batas usia kawin untuk wanita dari 16 (enam belas) tahun menjadi 18 (delapan belas) tahun, akan makin mengurangi angka perceraian, menanggulangi permasalahan kesehatan, maupun meminimalisir permasalahan sosial lainnya.

Dorong beragama artifisial

Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) mengecam keras keputusan itu. Pendeta Gomar Gultom, Sekretaris Umum PGI dalam pernyataannya yang dimuat di website pgi.or.id, mengungkapkan kekecewaannya atas putusan tersebut.

Menurutnya, putusan MK menolak permohonan anak-anak bangsa yang merasa hak-hak konstitusinya diabaikan oleh negara. Pendeta  Gomar mengatakan, “Saya memang tidak penganjur perkawinan beda agama! Tapi saya cukup realistis untuk memahami bahwa dalam kenyataannya perkawinan beda agama akan terus terjadi, sebagai konsekuensi dari realitas kemajemukan kita. Putusan MK ini akan melanggengkan perilaku hidup bersama tanpa nikah (samen leven), yang pada gilirannya membawa banyak ketidakpastian pada anak-anak. Atau orang akan beralih agama hanya demi perkawinan, dan sesudahnya balik lagi ke agama semula; sebuah pola beragama yang sangat artifisial, kalau tidak hendak menyebut munafik. Bagi yang berduit tak terlalu masalah, karena bisa meminta penetapan pengadilan atau nikah di luar negeri.”

Fasilitasi perdagangan anak

Pendeta Gomar  juga mengomentari keputusan tentang batas minimal perempuan menikah. Hal lain yang membuatnya miris, adalah penolakan terhadap batas minimal perempuan dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Sebab hal ini akan makin melanggengkan perkawinan anak-anak.

Lebih lanjut Gomar menyatakan: “Adalah tugas negara untuk mencatatkan seluruh akta-akta sipil, termasuk perkawinan, demi perlindungan warganya. Terkait soal pilihan bentuk dan cara perkawinan berlangsung, adalah keputusan individu yang harus dilindungi oleh negara, apa pun keputusan yang bersangkutan.”

Para pemohon uji materi UU Perkawinan itu – Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi.

888 Total Views 3 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *