Cicilia Trisna Ningsih : Mengecilkan Perbedaan dan Membesarkan Kebersamaan

Cicilian Trisna Ningsih bersama putir keduanya Christine Handayani Radityas di Studio Radio Suara Wajar, Rabu, 08 Mei 2019. (Foto : Robert)

Cicilia Trisna Ningsih bersama putir keduanya Christine Handayani Radityas di Studio Radio Suara Wajar, Rabu, 08 Mei 2019. (Foto : Robert)

SUARAWAJARFM.com, BANDAR LAMPUNG — Cicilia Trisna Ningsih atau yang lebih akrab dikenal Carlost (nama suaminya) merupakan sosok insipratif terutama bagi umat Katolik. Bagaimana tidak akibat keaktifannya di masyarakat dengan berbagai organisasi, dia banyak dikenal orang banyak. Karena terlibat aktif juga di luar gereja, tidak hanya umat Katolik saja yang mengenalnya, namun juga masyarakat umum. Carlost dapat berbaur dengan masyarakat tanpa melihat perbedaan yang ada.

Carlost lahir di Palembang, Sumatera Selatan pada 6 April 1962. Pendidikan SD hingga SMP dihabiskannya di Belitang, Ogan Komering Ulu Timur Sumatera Selatan. Sedangkan pendidikan SMAnya dihabiskan di Daerah Istimewa Yogyakarta, dan menempuh Perguruan Tinggi di Jakarta.

“Pendidikan saya dari SD sampai SMP di Blitang, di Xaverius. SLTA saya di Sekolah Menengah Pekerja Sosial di Jogja yang sekarang diganti Steladus II. Setelah itu saya bekerja sembentar sebagai Pembina Kemasyarakatan untuk adek-adek SPK Perdhaki di Palembang tahun 1982,” katanya di Studio Radio Suara Wajar, Rabu, 08 Mei 2019.

Usai menuntaskan pendidikan di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi dan Sekretari Asmi, ibu tiga anak ini mendapatkan pekerjaan dan bertemu dengan tambatan hati yang mendampinginya hingga sekarang, Carlost Hariyanto.

“Bertemunya dengan Bapak waktu itu di perjalanan dari Muara Bungo, nah waktu itu status saya masih saya bekerja di Caritas itu, di SBK itu. Bapaknya (Carlost Hariyanto) kerja di Palembang, di situ masih sebatas ini. Cuman Bapaknya tertariknya dengan saya kelihatannya kok ini religius. Nah saya waktu itu, prinsip saya menikah dengan orang yang bisa benar-benar menerima keluarga saya, itu saja,” cerita Carlost.

“Kami tidak langsung menikah ngendap dulu, ada kali tiga tahunan, ngendap dulu karna sayakan kuliah dulu, saya kerja lagi. Itu sudah masa-masa pacaran jauh begitu. Baru tahun 1987 kami saling menerimakan Sakramen Perkawinan, di Belitang dengan Romo Bunche, SCJ,” kenangnya.

Setelah setahun menikah tepatnya pada tahun 1988 anak pertama dari lima bersauda ini memutuskan untuk melepas pekerjaannya dan fokus mengurus keluarga.

“Nah waktu itu saya benar-benar, setelah menikah hampir setahun belum punya anak. Saya tinggal di Jakarta, Bapaknya tinggal disini, saya lepaskan semuanya. Setelah saya positif hamil,” katanya.

Putri mendiang FX Sumarno dan Agatha Bunaya ini dipandang berhasil mendidik anak. Dua dari ketiga anaknya saat ini telah bekerja di perusahaan besar di luar negeri. Dan yang membuat dirinya dan keluarga bangga, putri keduanya baru-baru ini direkrut Perusahaan Raksasa Google Polandia.

“Ya anak-anak saya, kami berkomitmen bahwa kami hanya mampu menyekolahkan sampai S1, kalau ingin mimpi-mimpi yang lain itu kalian sendiri yang akan mencari, akan mengejar,” cerita Carlost.

Si Christin (putri keduanya) di Polandia sudah bekerja, si Carolus juga bekerja, sementara si Clara dari Pajajaran ambil Sastra Inggris, sempat di London School untuk ambil bisnisnya di situ,” imbuh Carlost.

“Jadi kami melepaskan anak itu bukan terus masa bodoh, tidak itu tidak, tetapi kami yakin bahwa dia melangkah itu tidak sendirian. Itu yang membuat kami sebagai orang tua juga kuat dan anak-anak suka bahwa dengan badai apapun,” katanya.

“Ini mungkin juga gak semudah yang dibayangkan kehidupan di sana, yang satu itu. Yang kedua berjuang keras, karena anak-anak saya itu, ini dulu kuliahpun sambal bekerja.”

Persembahan hidup dan rasa syukur menjadi motivasi Carlost aktif dalam organisasi kemasyarakatan dan melayani sesama tanpa memandang perbedaan, tak ada motivasi lain.

“Motivasi yang ada itu persembahan hidup, persembahan hudip, rasa syukur, karna melihat jalannya rentang waktu ini, ya merasa Tuhan itu begitu baik dengan kami, bisa dikatakan dengan saya pribadi, dengan keluarga ya,” ungkapnya.

“Kitalah yang menjadi cermin motivasi anak-anak, dalam tanda kutip anak-anak kita dulu. Tetapi nanti juga bisa menjadi cerminan anak lingkungan kita, anak di masyarakat yang lain. Jadi mengajak, membawa ibu-ibu perempuan tu ayok kita ni semangat, kuat!,” ajaknya.

“Mengecilkan perbedaan dan membesarkan kebersamaan” menjadi hal yang selalu dipegang teguh Carlost dalam berkecimpung di masyarakat. Cara itu menjadi ampuh untuk dirinya masuk di tengah-tengah masyarakat dan dia bisa diterima.

“Kalau saya sendiri ya khususnya keluarga saya merasa tidak ada kendala. Seperti kemarin karna anak-anak pulang dari luar negri kami Misa Rosario bertepatan, itu waktu itu di depan rumah itu punggahan. Nah kami RTnya bilang sama saya ‘Bu kami, Ibu mau doa tanggal 4 ya? Kami mau punggahan’ ya saya bilang ‘loh bukannya punggahannya tanggal 5? Kami doanya dulu’, ‘yaudh gapapa bu. Kami dulu.., nanti kami selesai jam setengah 8 abis isya nanti ibu’. Enak aja, gak ada kendala,”

Sebagai seorang Katolik, warga Paroki Katedral Kristus Raja Bandar Lampung ini memiliki pengalam iman yang membuat imannya semakin teguh.

“Kalau malam Kamis Putih itu saya terima dari Bapak dari misalnya waktu itu saya masih kecil sekali, Bapak selalu membawa saya doa di Tabernakel. Di situ Bapak mengajak saya menyampaikan ya rasa syukur ya terimakasih, tetapi harapan, niat. Nah itu terus saya imani sampe sekarang bahwa saya merasa dengan saya sering di Tabernakel itu, masalah apapun kehidupan baik itu rumah tangga saya, anak-anak saya, kami semuanya. Saya merasa bahwa Allah itu tidak akan pernah kekurangan cara untuk menyelamatkan,” cerita Carlost.

“Itu jadi sering saya bawa dalam doa, juga kalau ada kesulitan. Ya selama ini kesulitan yang berat sekali sih masih bisa ini, ya mungkin karna itu saya merasa karna saya merasa dari hal sekecil apapun saya sampaikan ke Tuhan jadi saya merasa sekali saya melangkah, sembilan kali Tuhan itu akan membuka jalannya.”

Diakhir perbicangan, Cicilia Trisna Ningsih menerjemahkan hidup baik sebagai seorang Katolik dari sisi kacamatanya.

“Baik itukan ukurannya lain-lain ya dek, ya itukan tadi dikatakan kacamata saya dan maaf kalo ini memang tidak berkenan para pendengar ya itukan menurut kacamata saya ya,” kata Carlost.

“Menurut saya hidup yang baik ya tekun dalam doa baik itu di rumah, di lingkungan, dimanapun kita berdevosi itu yang untuk diri untuk keluarga. Setelah itu kan kita dalam baik itu kegiatan di lingkungan, kring, paroki dan di keuskupan. Setelah itu semua kita melakukan itu kita pasti sebagai orang Katolik merasakan daya yang luar biasa, rasa yang luar biasa, suka cita. Ayo kita bawa suka cita ini, kita bawa keluar,” imbunya.

“Bawa kita sharingkan pada temen-temen di lingkungan, kita antarkan kepada temen-temen yang ada di lingkungan juga kita ajak, ayok kita berbagi kasih di luar sana, ayok kita menjalin relasi di luar sana dengan saudara-saudara kita tidak hanya maaf ngomong Muslim yang Hindu yang beda lainya, tetapi semuanya kita bisa saling menguatkan, kita saling memberikan motivasi. Apalagi dengan situasi yang sekarang kita bisa saling menyejukkan kalau kita relasinya itu baik. Jadi dalam diri kita, ya kita harus tekun, kita ya harus taat, kita ya harus bisa menjalankan,” pungkasnya.***

Editor : Robert

750 Total Views 1 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *