Menurut sejarah, kerajaan tertua di Alor adalah kerajaan Abui di pedalaman pegunungan Alor dan kerajaraan Munaseli yang berada di pulau Pantar. Suatu ketika, kedua kerjaan ini terlibat perang magic, peristiwa seperti ini banyak ditemukan pada kerjaan-kerajaan jaman dahulu, karena masyarakat jaman dahulu masih percaya dengan hal-hal yang bersifat tabu. Perang ini dilakukan dengan cara kedua kerajaan tersebut saling melontarkan kata-kata gaib. Konon berdasarkan sejarah,dikatakan bahwa Kerajaan Munaseli mengirimkan lebah sedangkan Kerajaan Abui mengirimkan angin topan dan api pada akhirnya perang dimenangkan oleh Abui. Perang belum selesai, sehabis kalah dari kerajaan Abui, Munaseli terlibat perang juga dengan Pandai yang bertetangga dengannya. Dikarenakan kekalahan atas Kerajaan Abui, pada saat itu Kerajaan Munaseli meminta bantuan pada Kerajaan Majapahit tetapi yang ditemukan Majapahit hanyalah puing-puing dari Kerajaan Munaseli dengan kata lain Majapahit mengirimkan bala bantuan setelah penduduk dari Munaseli telah melarikan diri ke berbagai tempat di Alor jadi tidak heran jika banyak ditemukan orang bertampang Jawa di Munaseli. Bukan hanya Kerajaan Munaseli dan Abui saja, di pesisir pantai terdapat kerajaan Kui, Bunga Bali, Blagar, Pandai serta Baranua yang memiliki hubungan dekat satu sama lain, tidak heran jika mereka mengaku berasal dari leluhur yang sama.
Agama Suku Alor
Mayoritas agama pada penduduk Alor adalah kristen katolik dan kristen protestan, tapi tidak sedikit pula dari masyarakat Alor yang menganut paham animisme dan dinamisme yang menyembah Larra/Lera yaitu matahari, Wulang yaitu bulan, Neda yaitu sungai bisa disebut juga dewa air, Addi yaitu hutan bisa disebut juga dewa hutan serta Hari yaitu laut bisa disebut juga dewa laut. Sebagiannya lagi beragama islam, budha dan hindu. Agama kristen datang ke Alor awalnya karena keputusan Leserborn yang isinya membagi dilayah Nusa Tenggara Timur menjadi dua yang mengharuskan Alor untuk dikuasai Kolonial Belanda. Sekitar tahun 1900 Belanda mengirim dua tahanannya yang dibuang ke Alor dikarenakan daratan Alor yang pada saat itu masih terjal dan bergunung, kedua utusan itu bernama Mingga dan Heo yang beragam kristen, dimana mereka masuk dalam Zegi Pastoral yang berimam umat kristiani. Penduduk asli Alor yang masih menganut kepercayaan pada sukunya akan sesekali turun ke Pantai Makassar untuk berbelanja, tempat dimana Mingga dan Heo menetap. Disini terjadilah komunikasi dengan penduduk yang datang karena transaksi jual-beli serta kemahiran orang kristiani dalam Zegi Pastoral dan sosiologi, maka banyak penduduk yang simpati dan beralih memeluk agama kristen.

Mata Pencaharian Suku Alor
Mata pencaharian orang Alor pada dasarnya adalah perladangan berpindah dengan teknik tebang dan bakar. Tanaman pokoknya adalah jagung, diikuti oleh tanaman padi, ubi kayu, sorgum, dan kacang-kacangan. Selain itu mereka masih melakukan pekerjaan tambahan tradisional lain, seperti berburu, menangkap ikan, meramu hasil hutan, dan membuat barang-barang anyaman untuk dibarter. Sama seperti berbagai kegiatan hidup penting lainnya, kegiatan mata pencaharian ini juga mereka atur sesuai dengan hukum adat.
Perkawinan Dalam Suku Alor
Prinsip hubungan keturunan suku Alor biasanya bersifat patrilineal. Keluarga ini disebut kukkus. Gabungan dari beberapa kukkus menjadi klen kecil yang disebut bala. Gabungan dari beberapa bala menjadi klen besar yang disebut laing. Dalam perkawinannya orang Alor menganut adat eksogami klen. Pihak laki-laki wajib membayar sejumlah belis (maskawin) secara kontan kepada pihak pemberi wanita. Belis tersebut dapat terdiri atas sejumlah uang, gong, selimut (sejenis ikat pinggang) dan moko (sejenis genderang untuk mengiringi upacara).
Selain itu perkawinan dapat pula terjadi tanpa harus membayar belis secara kontan, untuk itu si suami harus mengabdi beberapa lama untuk lingkungan asal isterinya. Ada pula yang disebut perkawinan tukar gadis, dimana laki-laki yang tidak mampu membayar belis menyerahkan saudara perempuannya untuk dikawini pula oleh laki-laki pihak keluarga asal isterinya. Jalan pintas yang ditempuh seorang laki-laki untuk menghindari semua kewajiban belis tersebut biasanya dengan melarikan si gadis. Namun tetap ada sanksinya.