Pembangunan Tembok Beton Berjalan Tegang
RADIO SUARA WAJAR – Pembangunan tembok beton di bantaran rel kereta api nyaris berujung ricuh. Kondisi ini dipicu aksi para pekerja yang melanjutkan pembangunan tembok beton kemarin (10/12). Puluhan warga di sekitar areal pembangunan di Kotabaru, Enggal, tampak berjaga di sepanjang rel. Awalnya, mereka hendak memprotes aksi para pekerja itu. Beruntung, mereka masih bisa menahan diri karena khawatir keadaan jadi tak terkendali.
Warga akhirnya memutuskan mengundang Komisi III DPRD Bandarlampung. Langkah ini sekaligus untuk meminta penjelasan terkait hasil mediasi di Kementerian Perhubungan (Kemenhub), Selasa (8/12) lalu.
’’Kami menghindari keadaan yang memanas. Jadi kami menunggu pihak yang bisa menengahi kami,” kata salah seorang warga, Hendro, seperti dikutib radarlampung.co.id, kemarin.
Guna meredam suasana tegang, para warga sepakat untuk berkumpul di salah satu rumah warga, Aang. Tidak lama, Sekretaris Komisi III DPRD Bandarlampung Muchlas E Bastari datang ke lokasi. Namun setelah mendapatkan penjelasan hasil mediasi, warga kecewa. Selain tidak membuahkan hasil yang menguntungkan, petisi yang mereka buat kepada pemerintah pusat juga diabaikan.
Kendati demikian, warga tetap bersikukuh untuk menolak pembangunan tembok tersebut. Kali ini mereka akan meminta bantuan dari berbagai pihak lain untuk membatalkan pembangunan tersebut.
“Kami tetap menolak. Kami meminta bantuan dan mengumpulkan semua pihak. Setelah akan kami sampaikan keluhan kami ke pemerintah daerah,” lanjutnya.
Sementara Muchlas berharap agar kebijakan pembangunan tembok beton dipertimbangkan kembali. Terlebih hal itu sudah menimbulkan keresahan masyarakat.
“Belum ada keputusan dari pusat. Kami sudah negosiasi, supaya jaraknya dimundurkan. Tapi itu melanggar undang-undang,” ungkapnya.
Sebelumnya diberitakan, Direktur LBH Bandarlampung Alian Setiadi melihat pangkal terjadinya penolakan warga atas tembok beton tersebut adalah masalah sosialisasi. Dalam penilaiannya, sosialisasi oleh PT KAI terkait pembangunan tembok tidak maksimal.
Alian tak melihat keterlibatan maksimal unsur pemerintahan desa, lingkungan, RT, atau warga di pinggir rel dalam sosialisasi pembangunan tembok itu. Hal ini membuat warga resah. Akses jalan warga jadi sempit. Terlebih jika sampai ada penggusuran rumah.
’’Warga sudah beberapa kali datang ke kami. Sejauh ini mereka masih dalam proses pendampingan untuk berkonsultasi secara hukum,” ujarnya kepada Radar Lampung Rabu (9/12).
Alian menilai, pembangunan tembok terkesan hanyalah proyek Dirjen Perkeretaapian Kemenhub saja. Padahal, lanjut dia, selama ini kecelakaan kereta terjadi lantaran minimnya palang pintu perlintasan dan kelalaian penyeberang rel.
“Sehingga solusi yang paling tepat yakni pembangunan fly over atau menambah tenaga penjaga palang pengaman kereta api,” lanjutnya.
Ditambah lagi, terus dia, persentase kereta api di Bandarlampung untuk angkutan publik lebih sedikit diibanding dengan pengangkut batubara dari Palembang.
Alian memperkirakan keuntungan yang diperoleh PT KAI dari pengangkutan batubara tersebut mencapai miliaran rupiah. Semestinya, PT KAI justru membuat proyek yang menguntungkan warga. Bukan malah membuat resah dan konflik.
“Apalagi masalah ini kan sudah sampai dipusat. Mereka harus segera menghentikan proyek ini dan mengalihkannya dengan pembangunan fly over atau upaya pengamanan lainnya,” ujarnya.