Bonifasius Sarjono, Berpolitik Dengan Meneladani Yesus
BANDAR LAMPUNG, POTRET RADIO SUARA WAJAR – Konsep Gereja sebagai umat Allah membuka pintu sangat lebar bagi keterlibatan umat dalam politik. Pada Konsili Vatikan II (Gaudium et Spes, 75) menyebutkan bahwa segenap umat Katolik menyadari panggilannya yang khas dalam negara yaitu kewajiban mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum. Sebab hanya dengan cara seperti ini umat Katolik dapat menunjukan tindakan cinta kasih yang nyata dan menguntungkan masyarakat.
Florence (2003) menegaskan bahwa semakin buruknya keadaan sosial, ekonomi dan politik yang dialami masyarakat perlu dilihat sebagai faktor pendorong atau pemicu bagi Gereja supaya lebih aktif membuka hati dan pikiran umat beriman agar memiliki keberanian melakukan dialog terhadap persoalan yang dihadapi dan mencarikan sendiri solusinya.
Keterbukaan hati dan pikiran itu bisa terjadi kalau umat beriman belajar “berpolitik dengan meneladani Yesus Kristus” yang selalu memfokuskan diri pada cinta kasih khususnya kepada yang lemah, miskin dan menderita. Cara berpolitik dengan meneladani Yesus ini telah dilakukan sejumlah tokoh Katolik kita seperti Mgr. Soegijapranata, Kardinal Darmoyuwono, Rm. Mangunwijaya, Frans Seda, Kasimo, dll.
Mereka menjalankan kehidupan politik secara sederhana, dinamis, berpihak pada rakyat kecil dan selalu mengutamakan kepentingan bersama. Politik katolik bukanlah politik berdasarkan kesempatan untuk berkuasa, melainkan berdasarkan hati nurani, dialog dan pelayanan demi kebaikan banyak orang (Rahardi, 2009).
Jejak tokoh Katolik pendahulu itu pun diikuti Bonifasius Sarjono (80) saat menduduki Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Lampung. B. Sarjono kala itu duduk sebagai anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Komisi E periode 1999-2002.
Pria kelahiran Desa Panutan Kecamatan Pagelaran Kabupaten Pringsewu 14 Mei 1935 ini, saat menjabat menjadi anggota dewan dikenal sangat “vokal” menyuarakan aspirasi masyarakat kecil. Dalam tubuh partai besutan Megawati Soekarnoputri, B. Sarjono dipercaya sebagai anggota Majelim Pertimbangan Partai (MPP).
Terjun di dunia politik menurutnya menjadi sarana baginya untuk selalu memfokuskan diri pada cinta kasih, khususnya kepada yang lemah, miskin dan menderita, walaupun cap “Sarjono terlalu vokal” melekat pada dirinya.
Bisa dibilang, menurut pengakuannya, angota DPRD Provinsi Lampung yang apa adanya, tampil sederhana adalah dirinya kala itu. Sampai-sampai B. Sarjono tidak mempunyai kendaraan seperti mobil atau sepeda motor. Saat menjalankan tugasnya sebagai anggota dewan, dia memilih mengendarai angkutan umum. Bukan tanpa tujuan dia memilih menggunakan angkutan umum. Ini dilakukannya agar bisa “membumi” menyerap aspirasi masyarakat dari berbagai kalangan.
Prinsip hidup B. Sarjono berpolitik secara bersih dan jujur dan anti korupsi tidak serta merta melanggengkan posisinya sebagai anggota DPRD kala itu. Hingga pada akhirnya, B. Sarjono menjadi salah satu dari 17 anggota DPRD Lampung yang diberhentikan oleh partainya pada Juni 2003 silam. Karena dinilai telah membangkang dari kebijakan partai dalam pemilihan Gubernur Lampung yang digelar 30 Desember 2002 lalu.
Sarjono pada tahun 1973 merupakan saksi sejarah berdirinya Partai Demokrasi Indonesia (PDI), karena sebagai perwakilan dari Partai Katolik yang membubuhkan tanda tangan pada fusi partai. Sebagaimana diketahui, pada tanggal 10 Januari 1973 silam, PDI merupakan fusi (penggabungan) dari beberapa partai yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan juga dua partai keagamaan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Partai Katolik.
Walaupan hanya lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) pengetahuan dan pemikiran-pemikiran B. Sarjono tak kalah brilian. Resepnya ialah gemar membaca. Hal itu dibeberkan pada Radio Suara Wajar dalam wawancara khusus di kediamannya, Jalan Kimaja Gang Tangkil No. 2 Bandar Lampung Sabtu, 14 November 2015. Hobi membaca terbentuk waktu dirinya menempuh pendidikan di seminari.
Sebelum menjadi anggota DPRD Provinsi Lampung B. Sarjono mengawali karier sebagai pengajar di sekolah yang bernaung pada Yayasan Xaverius Bandar Lampung dari tahun 1960 dan pensiun pada tahun 1991. Selain itu, anak bungsu dari delapan bersudara ini merupakan pendiri Yayasan Pendidikan Budi Mulya sekitar tahun 1972. Yayasan ini menaungi Sekolah SMP Budi Mulya yang beralamat di Jl. Kangguru No. 25 Sidodadi, Kedaton, Bandar Lampung.
Sarjono kembali menegaskan agar hendaknya umat Katolik tidak boleh acuh tak acuh terhadap politik. Umat katolik harus berbaur dengan umat lain salah satunya bisa dilakukan dengan cara bergabung organisasi kemasyarakatan. Atas kepiawaiannya, B. Sarjono ternyata juga dipercaya sebagai penasehat Pemuda Katolik dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia disingkat (PMKRI).
Ditemui ditempat berbeda, salah satu sahabatnya, Samuel Bambang Muharyono (65) memberikan komentar positif pada kiprah B. Sarjono baik di dunia politik maupun pendidikan.***
Reporter : Robert