Misteri Stigmata, Paroki Waena
RADIO SUARA WAJAR – Ketika semua rasa melebur melampaui berbagai rasa, maka badan pikiran jiwa berada dalam sebuah keselarasan. Puncak konsentrasi seperti inilah yang sering disebut meditasi. Suasana yang terjadi malam ini di kompleks Gereja Katolik Kristus Terang Dunia Waena malam hari menjelang libur Idul Adha sedikit kontradiktif dengan suasana kota yang terjadi di seputaran Abepura yang sempat macet sewajarnya menjelang liburan dalam hiruk pikuk kota.
Di mana ada orang muda berkumpul dalam jumlah yang banyak pastilah di situ ada acara yang atraktif dan gembira, namun situasi malam ini, Rabu (23/9) sedikit berbeda. Suasana meditatif yang terjadi di kompleks Gereja Kristus Terang Dunia (KTD) Waena sejak pukul 19.30 WIT ini justru dipenuhi oleh ratusan orang muda baik yang masih anak-anak hingga yang sudah dewasa. Di dalam Aula St. Ignatius Paroki KTD Waena para OMK dan sejumlah orang muda dari berbagai asrama di seputaran Waena diajak oleh Bp. Anton Amabolen dari Komunitas Salib Suci (KSC) KTD Waena bekerja sama dengan Multi Media Paroki menyelenggarakan pemutaran film Lima Luka Yesus yang dialami secara ajaib oleh St. Padre Pio (Stigmata).
St Padre Pio dari Pietrelcina adalah salah satu orang dari 8 orang tokoh peradaban Dunia yang pernah mengalami stigmata. Peristiwa Stigmata pertama yang dialami Padre Pio terjadi di Pietrelcina sore hari 7 September 1911. Karena Ia takut Ia lalu menemui Monsigneur Salvatore Panullo, Pastor Paroki Pieltrecina untuk menolongnya dengan cara berdoa. Ajaibnya, luka-luka stigmata itu hilang. Pada tanggal 5 Agustus 1918, Padre Pio mendapat penglihatan di mana ia merasa dirinya ditikam dengan sebilah tombak; sesudahnya luka akibat tikaman tombak itu tinggal pada tubuhnya. Kemudian pada tanggal 20 September 1918 saat ia sedang sendirian memanjatkan syukur sesudah perayaan Misa disebuah kapel tua ia menerima luka-luka di kedua kaki dan tangannya. Setiap hari Padre Pio kehilangan sekitar satu cangkir darah dan anehnya luka-luka itu tidak pernah menutup ataupun bertambah parah. Keanehan semakin bertambah bukannya bau darah melainkan bau harum yang semerbak terpancar dari luka-luka stigmatanya.
Di tempat yang berbeda, tepatnya di depan Goa Maria Paroki KTD Waena, dalam suasana sepi dan hening, sekitar 30 anak remaka (remaja Katolik) dari Paroki Argapura, Kotaraja, Waena dan Sentani mengadakan pembekalan mental dan Spiritual. Kegiatan ini diprakarsai oleh Tunggal Hati Seminari – Tunggal Hati Maria (THS THM). Kelompok ini berdiri sejak tahun 1983 di Seminari Petrus Kanisius Mertoyudan, diajarkan oleh Frater Hadiwijoyo, kegiatannya berupa pencak silat dan pembinaan mental para anggotanya. Motto dari THS THM yang juga merupakan tujuan jiwa dari para anggotanya yaitu: Fortiter In Re, Suaviter In Modo yang berarti kokoh kuat dalam prinsip, dan lembut cara mencapainya. Di Keuskupan Jayapura THS THM berpusat di Kotaraja dan merupakan ranting dari pusatnya di Timika. THS THM berdiri di Jayapura sejak tahun 2005. Kegiatan malam ini dalam bentuk kegiatan retret selama 2 hari 1 malam, pemberian materi organisasi bagi anggota baru, selanjutnya pada tengah malam diadakan pelajaran meditasi bagi pemula. Beberapa orang tua di Paroki Waena turut memberikan support pada kegiatan tersebut dengan mengupayakan makan dan minum bagi kegiatan THS THM malam ini.
Sekitar pukul 23.30 WIT kegiatan pemutaran Film yang diprakarsai oleh KSC dan multi media berakhir namun kegiatan meditasi di Goa Maria Paroki Waena berlanjut hingga pagi hari oleh THS THM Ranting Keuskupan Jayapura.
Kontributor: Florry Koban