Banyak Warga Kristen Pakistan Mencari Suaka Ke Luar Negeri
RADIO SUARA WAJAR – Sarfraz Masih mengatakan ia berupaya membantu saudaranya, Sajjad, yang dipenjara setelah ia dijerat dengan UU Penghujatan kontroversial Pakistan.
Sajjad, dari Pakpattan, Provinsi Punjab dijatuhi hukuman seumur hidup pada Juli 2013 akibat mengirim pesan teks yang dinilai penghujat ke sejumlah ulama tahun 2011, namun saudaranya membatah keras tuduhan itu.
“Saya telah berusaha membuktikan dia tidak bersalah namun sejauh ini usaha itu sia-sia dan saya telah menjadi target kaum fanatik,” kata Sarfraz, seorang Kristen.
“Bandingnya kini tertunda di Pengadilan Tinggi Lahore. Tapi, sidangnya mungkin membutuhkan waktu bertahun-tahun,” katanya.
“Saya telah mengalami empat tahun intimidasi, termasuk ancaman pembunuhan. Aku tidak bisa tahan lagi. Keluarga kami telah memutuskan pergi ke Sri Lanka dan mengajukan permohonan suaka,” kata Sarfraz.
Pencari suaka meningkat
Tidak peduli dengan laporan negatif terkait kesulitan yang menimpa para pencari suaka di Sri Lanka, Thailand dan negara-negara lain, Sarfraz siap berjudi.
“Kami sangat menyadari risiko, namun kami berdoa kepada Yesus agar sesuatu akan berubah bagi kami di Sri Lanka,” katanya.
Pemimpin agama dan politik Kristen mengatakan bahwa sekitar 30.000 orang telah meminta suaka atau status pengungsi di Thailand, Sri Lanka, Malaysia dan negara-negara lain dalam beberapa tahun terakhir.
Di Karachi, Pendeta Rafaqat Sadiq dari Gereja Presbyterian Pakistan mengatakan bahwa mayoritas Kristen di distrik Dastagir, distrik Essa Nagri, distrik Azam Basti, dan distrik Mahmoodabad telah mengungsi ke Thailand, namun kini mereka hidup sengsara karena mereka tidak memiliki izin kerja.
“Karena kemiskinan dan kurangnya sumber daya, beberapa gadis muda dipaksa menjadi PSK untuk mencari nafkah. Tapi, mereka masih berharap bahwa mereka akan diberikan status pengungsi oleh Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi,” kata pendeta itu.
Para pemimpin Kristen juga meninggalkan Pakistan akibat penganiayaan dan ancaman meningkat, kata Michael Javed, anggota parlemen Kristen.

Umat Katolik menghadiri Misa di Katedral Hati Kudus di Lahore, Pakistan, 22 Maret, berdoa bagi para korban serangan bom.
Kekerasan dan diskriminasi
“Saleem Khokhar, ketua All Pakistan Minorities Alliance di Provinsi Sindh, diberi suaka di Amerika Serikat setelah selamat serangan bersenjata pada 2013,” kata Javed.
All Pakistan Minorities Alliance adalah kelompok yang menentang kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.
“Saya tahu banyak orang telah meninggalkan negara itu dengan pertimbangan serius,” kata Javed.
Dia mencontohkan peristiwa serangan dua bom di dua gereja Katolik di Lahore pada Maret tahun ini.
Sebanyak 15 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka dalam ledakan di distrik Youhanabad. Setelah kejadian itu, orang-orang Kristen yang marah menghukum gantung dua tersangka yang diduga pelaku pemboman.
Kejadian ini memicu gelombang sentimen anti-Kristen, kata Javed.
“Insiden ini memiliki dampak buruk pada komunitas Kristen. Ketegangan komunal selama beberapa hari. Orang Kristen takut kemungkinan ada serangan balas dendam, mendorong banyak orang keluar negeri dan mencari suaka,” kata Javed.
Situasi telah kembali normal, tapi rasa takut tetap tinggi di antara komunitas Kristen, kata Javed.
Demi kehidupan yang lebih baik
Kashif A. Javed, ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian Konferensi Waligereja Pakistan, mengatakan Gereja tidak mendukung apa yang disebut migrasi Kristen akibat “kekhawatiran dan risiko”.
“Kami menyediakan bantuan hukum dan keuangan untuk para korban penganiayaan daripada mengirim mereka ke luar negeri,” katanya.
Banyak orang Kristen bersedia mengambil risiko pergi ke luar negeri untuk kehidupan yang lebih baik, namun lebih kesulitan seperti keuangan dan birokrasi resmi sering menunggu mereka dan ratusan pencari suaka diyakini telah kembali secara sukarela, atau ditahan dan dideportasi kembali ke Pakistan.
Setelah mencapai Thailand misalnya, Kristen mengajukan permohonan suaka dengan Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi dan kemudian menunggu beberapa tahun untuk wawancara. Setelah wawancara, PBB memutuskan apakah pelamar dapat memenuhi syarat untuk suaka di negara lain atau tidak.
Nadeem John, 38, meninggalkan Karachi dan pergi ke Thailand pada Maret tahun lalu dengan istri dan dua anak. John, yang pernah memiliki toko dan memperoleh kehidupan yang layak, mengorbankan semuanya untuk mencapai Thailand.
Wawancaranya ditetapkan tahun 2019.
“Selama hampir setahun, saya tetap menganggur dan menghabiskan semua uang yang saya bawa dari Pakistan dengan menjual toko saya dan barang-barang lainnya. Akhirnya, kami memutuskan untuk kembali ke Karachi dan membangun kembali bisnis saya,” katanya.
“Saya harus mulai bekerja dari awal di Karachi.”