Senjata Tradisional Jambi

Tombak Jambi

tombak

Tombak Jambi

Melihat kawasan Jambi sebagian besar daerah hutan dan populasi hewan masih banyak, maka tak heran hal ini dimanfaatkan sebagian besar suku Kubu untuk berburu. Karena kehidupan mereka seminmaden inilah yang membuat mereka manfaatkan, di mana ada kawasan yang dijadikan tempat bertahan maka kehidupan mereka ditemukan. Untuk berburu umumnya mereka menggunakan senjata tombak sebagai senjata utama. Ada dua jenis tombak yang mereka miliki.

Pertama, tombak yang panjangnya kurang lebih setinggi orang dewasa dan bagian mata tombaknya ber-berangko (diberi sarung). Tombak jenis ini oleh mereka disebut kujur berongsong. Cara menggunakannya adalah dengan memegang bagian tengahnya, kemudian dilemparkan (dengan satu tangan) ke sasaran. Kedua, tombak yang panjangnya hampir mencapai 3 meter. Di ujung tombak ini ada semacam pisau yang runcing yang kedua sisinya tajam (bentuknya lebih lebar dan lebih pendek daripada tombak jenis yang pertama).

Cara mempergunakannya adalah tangan kanan memegang pangkalnya, kemudian tangan kiri menopangnya, baru dilemparkan ke arah sasaran (arahnya selalu ke arah kiri). Kedua jenis tombak tersebut matanya terbuat dari logam (besi) dan batangnya terbuat dari kayu tepis. Kayu ini di samping berserat, tetapi juga keras dan lurus, sehingga cocok untuk dijadikan sebagai batang tombak. Tombak biasanya digunakan berburu nangku (babi hutan), kera, rusa (kancil), napu, kijang (menjangan). Sebagai catatan, binatang-binatang tersebut terkadang ditangkap dengan cara penjeratan. Untuk berburu berbagai binatang tersebut biasanya mereka pergi daerah-daerah sumber air, karena kawanan binatang biasanya berdatangan kesana untuk suban (minum).

Selain tombak mereka juga menggunakan batang pohon yang berukuran sedang dan berat (garis tengahnya kurang lebih 30 cm), khususnya untuk menangkap gajah. Batang pohon tersebut dipotong sepanjang kurang lebih 10 meter, kemudian salah satu ujungnya diruncingi. Sedangkan, ujung lainnya diikat dengan rotan. Selanjutnya, digantung diantara pohon yang besar dengan posisi bagian yang runcing ada di bawah, dengan ketinggian kurang lebih 5 meter dari permukaan tanah. Rotan yang digunakan untuk mengikat salah satu ujung batang tadi dibiarkan menjulur sampai ke tanah. Maksudnya, jika ada gajah yang menginjak atau menariknya, maka gajah tersebut akan tertimpa atau kejatuhan batang kayu yang runcing itu. Sistem ini juga digunakan untuk menangkap harimau. Oleh karena itu, perangkap ini ditempatkan pada daerah yang biasa dilalui oleh gajah dan atau harimau. Perangkap ini oleh mereka disebut pencebung.

Gajah juga dapat ditangkap dengan menggunakan perangkap yang berupa lubang yang cukup dalam dan ditutup dengan ranting serta daun-daunan. Sementara, untuk menangkap badak, mereka membuat parit yang panjangnya 10-15 rentangan tangan orang dewasa (depa). Parit yang lebarnya kurang lebih 1 meter ini semakin ke ujung semakin dalam (kurang lebih setinggi manusia dewasa). Dengan demikian, jika ada badak yang memasukinya, maka ia akan terperangkap karena tidak dapat meloncat atau berbalik.

Pedang “Selangkeh”, Senjata Tradisi Kerinci

1181612Pedang selangkeh yang merupakan senjata tradisional asli Kerinci perlu dipopulerkan kembali kepada publik sehingga menjadi khazanah kebudayaan masyarakat setempat. “Pedang selangkeh sesungguhnya senjata tradisional asli masyarakat Kerinci pada masa lalu, seperti halnya mandau di Kalimantan, rencong di Aceh, badik di Bugis, dan kujang di Sunda, bukanlah keris seperti yang dianggap sebagai senjata warisan budaya masyarakat Kerinci saat ini,” kata budayawan dan seniman Jambi, Azhar MJ, Minggu (22/5/2011) di Jambi. Menurut Azhar, selangkeh telah dipakai para ksatria, pendekar, dan para hulubalang (prajurit) di Kerinci sejak masyarakat Kerinci pertama mengenal kemampuan mengolah besi menjadi senjata.

Sebagai gambaran, bentuk selangkeh adalah pedang panjang yang sedikit melengkung dan berujung runcing. Selangkeh terbuat dari besi atau baja kualitas tinggi, dan gagangnya memiliki pelindung. Saat ini selangkeh hanya dipergunakan oleh para pemencak saat tampil memperagakan jurus-jurus tarian dalam acara-acara tertentu. Keberadaan pedang ini pun sudah semakin tidak jelas karena dijual kepada kolektor barang antik oleh pewarisnya. Pada masa sekarang, para petani menggunakan perkakas parang atau golok yang fisiknya menyerupai selangkeh. Sebenarnya itulah turunan dari selangkeh modern saat ini. “Oleh karena itu, sudah seharusnya keberadaan selangkeh kembali dipopulerkan dengan menyebutnya sebagai senjata tradisional khas Kerinci dan memakainya sebagai simbol kekuasaan saat penobatan depati, seperti halnya mandau di Kalimantan,” tambah Azhar.

 

5957 Total Views 1 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *