Qanun baru Kabupaten Aceh Utara pisahkan ruang kelas siswa, siswi

0506c

Qanun baru Kabupaten Aceh Utara pisahkan ruang kelas siswa, siswi

Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), baru-baru ini mengeluarkan peraturan daerah (Perda) yang salah satu poinnya berisi pemisahan ruang kelas bagi pelajar laki-laki dan perempuan mulai dari jenjang pendidikan sekolah menengah pertama (SMP) hingga universitas.

Perda yang dikenal sebagai Qanun Kemaslahatan dan Ketertiban Umum itu disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara pada 30 April. Qanun ini terdiri atas sembilan bab dan 34 pasal.

Menurut Ketua Panitia Legislasi (Panleg) DPRK Aceh Utara Tgk. Fauzan Hamzah, qanun itu mengatur pemisahan ruang kelas bagi pelajar laki-laki dan perempuan mulai dari jenjang pendidikan SMP dan sekolah menengah atas (SMA) hingga universitas. “Dengan pemisahan seperti ini akan bisa menghindarkan anak-anak dari pergaulan yang melanggar etika dan melanggar syariat Islam,” katanya kepada KOMPAS.com.

Qanun tersebut juga melarang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim berboncengan dengan sepeda atau sepeda motor kecuali dalam keadaan darurat. Selain itu, qanun itu melarang pedagang menjual pakaian yang melanggar syariat Islam dan memajang manekin yang menyerupai manusia dan hewan serta menjual minuman keras dan makanan haram dan yang mengandung bahan yang merusak kesehatan. Menyelenggarakan pertunjukan keyboard, organ tunggal, dan karaoke di pesta perkawinan, kafe, sunatan, arisan, kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan kampus, kegiatan perkantoran, serta kegiatan bisnis atau promosi juga dilarang.

Hamzah mengatakan bahwa ada waktu sekitar setahun untuk mensosialisasikan qanun itu sebelum diberlakukan. Masyarakat yang melanggar qanun tersebut akan diberi sanksi mulai dari teguran hingga dikeluarkan dari kampung.

Beberapa kepala sekolah mengatakan kepada ucanews.com bahwa mereka menyambut qanun baru itu dan akan menerapkannya di sekolah mereka. Hasbi, kepala sekolah SMAN 1 Matangkuli, mangaku tidak memiliki masalah dengan pemisahan semacam itu. “Kami punya 20 kelas dan 522 pelajar laki-laki dan perempuan. Walaupun kita pisah, kita tidak apa-apa. Kalau sudah perintah seperti itu, kita coba lagi,” katanya.

Ia menceritakan bahwa sekolah yang dipimpinnya pernah melakukan pemisahan ruang kelas bagi pelajar laki-laki dan perempuan sekitar tahun 2008. “Hanya satu semester saja. Lalu bubar. Berdasarkan pertimbangan para guru kurang tepat, ada perbedaan jumlah siswa dan siswi. Lebih banyak jumlah siswi,” lanjutnya.

Meskipun pemisahan ruang kelas memiliki sejumlah tantangan, Hasbi mengatakan bahwa tantangan-tantangan ini merupakan hal biasa. “Kelas untuk pelajar laki-laki itu jorok. Mereka malas menyapu. Para guru lebih senang masuk ke kelas yang untuk perempuan semua. Mungkin ini karena motivasi belajar perempuan umumnya lebih baik daripada pelajar laki-laki,” katanya.

Namun sekolah-sekolah kecil nampaknya akan mengalami kesulitan dalam menerapkan qanun tersebut, lanjut Hasbi. “Ada masalah dengan sekolah-sekolah kecil yang jumlah ruang belajarnya sedikit. Bagaimana mau dipisah? Sekolah-sekolah kecil membengkak pembayarannya,” katanya.

Senada dengan Hasbi, Kepala Sekolah SMPN 4 Meurah Mulia Ass Uadi mengatakan bahwa pemisahan laki-laki dan perempuan di propinsi itu sudah menjadi hal biasa. “Dimana-mana hal itu juga berlaku. Di pesantren, misalnya. Dan itu menurut saya baik untuk mengontrol perilaku anak-anak.”

Sekolah yang dipimpinnya masih baru dan memiliki dua ruang kelas untuk 45 siswa dan siswi. “Kalau nanti qanun itu mulai berlaku, maka kami akan menambah jumlah kelas. Dana untuk itu akan kami ajukan kepada pemerintah,” katanya.

Ia mengaku belum membaca isi qanun tersebut tapi yakin bahwa pemisahan ruang kelas tidak akan berdampak pada para guru. “Sepertinya tidak harus yang laki-laki mengajar di kelas laki-laki, juga perempuan tidak harus mengajar di kelas perempuan. Tapi lihat saja nanti apa keputusan dari atas. Kami akan ikut saja karena memang masalah pemisahan ini bukan hal baru di Aceh,” lanjutnya.

Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Azriana mengatakan bahwa munculnya qanun tersebut hanya merupakan pengalihan atas ketidakmampuan pemerintah kabupaten dalam menyelesaikan sejumlah persoalan mendasar seperti kemiskinan, korupsi dan angka pengangguran yang tinggi.

“Pola semacam ini juga terjadi di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Ini PR (pekerjaan rumah) menteri dalam negeri yang harus segera diselesaikan. Komnas Perempuan sudah menyampaikan dan meminta perhatian serius menteri dalam negeri terhadap 364 kebijakan diskriminatif yang lahir di sejumlah daerah termasuk di Aceh,” katanya kepada ucanews.com.

Ia mendesak Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo agar segera melakukan sejumlah upaya konkret dan terukur untuk memastikan bahwa tidak ada lagi kebijakan diskriminatif atas nama apa pun yang lahir dari pemerintah daerah.

“Konstitusi dan sejumlah peraturan perundang-undangan lainnya sudah menegaskan larangan untuk melahirkan kebijakan yang hanya menguntungkan golongan tertentu dan mendiskriminasi golongan masyarakat lainnya,” lanjutnya.

Untuk pemerintah Kabupaten Aceh Utara, Komnas Perempuan kembali mengingatkan tentang tingginya angka perkosaan terhadap anak perempuan oleh laki-laki dewasa. Bahkan sebagian perkosaan dilakukan oleh laki-laki yang memiliki hubungan darah dengan korban (incest). “Qanun Kemaslahatan dan Ketertiban Umum ini tidak menjawab persoalan tersebut, bahkan akan berpotensi untuk reviktimisasi sebagaimana yang sudah dibuktikan dari penerapan sejumlah qanun sejenis lainnya,” tegas Azriana.(ucanews.com)

1401 Total Views 2 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *