Renungan Harian, Jumat 18 November 2016
Jumat Biasa XXXIII
Bacaan: Lukas 19:45-48
Yesus menyucikan Bait Allah
19:45 Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mulailah Ia mengusir semua pedagang di situ, 19:46 kata-Nya kepada mereka: “Ada tertulis: Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.” 19:47 Tiap-tiap hari Ia mengajar di dalam Bait Allah. Imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat serta orang-orang terkemuka dari bangsa Israel berusaha untuk membinasakan Dia, 19:48 tetapi mereka tidak tahu, bagaimana harus melakukannya, sebab seluruh rakyat terpikat kepada-Nya dan ingin mendengarkan Dia.
Renungan
Pembaruan dalam segala bidang menjadi pesan yang bisa kita ambil melalui Injil hari ini. Dalam kehidupan bersama, harus selalu ada pembaruan dan pembenahan dalam berbagai aspek kehidupan. Sebuah organisasi juga perlu selalu membarui diri menjadi lebih baik. Seorang diri pribadi juga perlu senantiasa membarui diri. Jika tidak, diri kita akan menjadi kumpulan penyamun. Bahkan dalam bidang rohani juga perlu selalu membarui diri. Tujuannya adalah untuk penyegaran kembali, penyegaran akan visi misi awal yang hendak dicapai. Pembaruan itu selalu perlu untuk menjaga agar tetap pada jalur yang benar apa yang akan dilakukan selanjutnya.
Konteks Lukas hari ini adalah ketika Yesus sudah memasuki Yerusalem, arti hari-hari puncak pertentangan-Nya dengan para pemimpin mendekati kesudahannya. Menyucikan Bait Allah menjadi puncak pemicu penyaliban-Nya. Bagi para pemimpin, itulah moment ‘pidana’ untuk menjerat Yesus dalam kematian.
Bagi kita, moment penyucian Bait Allah merupakan moment pembaruan spiritual. Bait Allah bukan lagi hanya sekedar sebuah bangunan mati. Berkat Kristus, Bait Allah itu adalah Bait Allah yang hidup, yang bergerak dan berdinamika. Kristus itu sendirilah Bait Allah yang Agung. Ia adalah Imam, Altar, dan sekaligus Kurban itu sendiri, satu untuk selamanya. Kurban-kurban berikutnya merupakan peran serta ikut ambil bagian dalam Kurban Kristus.
Penyucian Bait Allah berarti pembaruan kerohanian yang terus menerus. Kerohanian yang tidak dibarui secara berkelanjutan, tidak pernah dimurnikan, justru akan menjadi kerohanian yang egois. Kerohanian itu pusatnya adalah Kristus sendiri. Praktek religius seringkali justru menjadi sarana aktualisasi diri, bukan Kristusnya yang menjadi pusat, namun diri kitalah yang menjadi pusatnya. Ini adalah penyimpangan ‘rumah doa yang dijadikan sarang penyamun’. Kerohanian yang tidak pernah dibarui justru akan menjadi penghalang kita berjumpa dengan Tuhan dan sesama.
Doa
Utuslah Roh-Mu ya Tuhan, dan jadi baru seluruh muka bumi. Allahku, NamaMu hendak kupuji, Engkau amat agung berdandan sinar kebenara. Ya TUhan berselubungkan cahaya bagai jubah raja, langit Kau pasang bagai kemah. Firmanmu disampaikan oleh angin api yang berkobar, tunduk padaMu bagai hamba. Utuslah Roh-Mu ya Tuhan, dan jadi baru seluruh muka bumi. Amin