Renungan Harian Minggu, 04 Oktober 2015
Minggu, 04 Oktober 2015
Hari Minggu Biasa ke XXVII (B)
Injil: Mrk 10:2-16
“Sebab pada awal mula dunia Allah menjadikan manusia laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan manusia” (Mrk 10:6-9)
RENUNGAN:
Dalam kunjungan pastoral ke Amerika Serikat salah satu acara yang dihadiri Paus adalah the World Meeting of Families di Philadelphia, tanggal 26 September 2015 yang lalu. Dalam khotbahnya, Paus mengatakan:
“Keluarga mempunyai kewarganegaraan yang ilahi. KTP-nya diberikan kepada mereka dari Tuhan supaya dari dalam jantung hati keluarga, dapat sungguh-sungguh bertumbuh lah kebenaran, kebaikan dan keindahan…. Beberapa dari kalian mungkin berkata, Bapa, Anda berbicara seperti itu, sebab Anda tidak menikah…” kata Paus. Ia melanjutkan, “Ya, keluarga-keluarga mempunyai kesulitan-kesulitan…. Dalam keluarga… kita bertengkar…, kadang piring-piring bisa terbang, dan anak-anak membuat sakit kepala. Saya tidak mau bicara tentang ibu mertua…,” perkataan ini langsung disambut tawa ribuan pendengarnya. “Namun demikian,” kata Paus, “dalam keluarga, selalu ada terang, oleh karena kasih dari Sang Putera Allah. Sebab dalam terang Kristus, kita melihat bahwa sebagaimana ada masalah-masalah dalam keluarga, demikianlah ada terang kebangkitan. Keluarga adalah pabrik harapan. Dalam keluarga memang ada kesulitan-kesulitan dan anak-anak membawa tantangan. Tetapi semua kesulitan itu dapat diatasi dengan kasih. Kebencian tidak dapat mengatasi kesulitan. Perpecahan hati tidak dapat mengatasi kesulitan. Hanya kasih yang dapat mengatasinya….” demikian kata Paus.
Khotbah Paus Fransiskus itu meneguhkan kembali ajaran iman Kristiani tentang keluarga, yang dibangun atas dasar kasih yang tak terceraikan antara suami dan istri. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang telah dipersatukan Allah, janganlah diceraikan manusia”. Demikianlah, sejak awal mula, Allah yang telah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, juga menghendaki manusia hidup mencerminkan gambar dan rupa-Nya itu.
Hal ini nampak jelas dalam kehidupan kasih suami istri yang dengan kasih pemberian diri yang total, menjadi gambaran akan kasih Allah sendiri kepada umat-Nya; dan kasih Kristus kepada Gereja-Nya. Itulah sebabnya, Kristus memerintahkan agar kasih suami istri dalam perkawinan tidak diceraikan, karena perceraian tidak sesuai dengan hakikat kasih. Selain bertentangan dengan hakikat kasih yang menyatukan suami istri, perceraian juga memberi akibat yang buruk yang sangat melukai hati anak-anak mereka. Bukankah hal itu demikian nyata dalam keseharian kita, saat kita melihat betapa besar dan dalamnya luka batin dari anak-anak yang orangtuanya bercerai.
Di tengah pandangan dunia, di mana kesetiaan kepada satu orang istri atau satu orang suami, dipandang sulit; Injil mengajarkan kita untuk setia kepada pasangan kita. Di tengah pandangan dunia, bahwa perceraian dan perkawinan lagi dengan orang lain dianggap biasa, Injil mengajarkan bahwa hal itu adalah zinah. Dunia mengajarkan jalan pintas, tetapi sabda Tuhan mengajarkan kita untuk memperbaiki akar permasalahannya. Yaitu agar kita belajar mengasihi, seperti Allah telah mengasihi kita. Sebab jika mengasihi sedemikian, tidak akan ada lagi perceraian dan perpecahan dalam keluarga, yang membawa permasalahan baru lagi, entah bagi anak-anak maupun bagi pasangan suami istri yang berpisah itu.
DOA:
“Tuhan Yesus, pengorbanan-Mu di kayu salib telah menyatakan betapa besar kasih-Mu kepada kami. Biarlah salib-Mu itu menjadi kekuatan bagiku, untuk belajar mengasihi dan untuk bertekun di dalamnya. Semoga dengan demikian, kasih-Mu senantiasa hadir dalam kehidupan perkawinan kami dan dalam keluarga kami, untuk selalu mempersatukan dan meemulihkan. Amin.”