Megawati: Demokrasi Pancasila Adalah Solusi Bangsa Berdaulat

Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri foto bersama usai menerima gelar Doktor Kehormatan bidang Demokrasi Ekonomi dari Mokpo National University Korea Selatan. Credits : Liputan6.com

Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri foto bersama usai menerima gelar Doktor Kehormatan bidang Demokrasi Ekonomi dari Mokpo National University Korea Selatan. Credits : Liputan6.com

MOKPO, SUARAWAJARFM.com – Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menyatakan, Demokrasi Pancasila merupakan jalan bagi setiap bangsa. Tidak hanya Indonesia, namun semua bangsa dalam upaya mencapai kedaulatan negara.

“Demokrasi Pancasila adalah jalan bagi setiap bangsa untuk mencapai Trisakti, menjadi bangsa yang berdaulat dalam politik, berdiri di atas kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan,” kata Megawati di Mokpo National University, Mokpo, Korea Selatan, seperti dikutip dari Liputan6.com, Sabtu 18 November 2017.

Demokrasi Pancasila lahir dari pemikiran Presiden pertama Republik Indonesia, Sukarno. Pemikiran tersebut merangkum lima prinsip dasar sekaligus perlawanan imperialisme dan kapitalisme, yang menjadi penyebab ketimpangan sosial di setiap bangsa, termasuk Indonesia.

Demokrasi Pancasila, menurut Megawati, adalah perpaduan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Di mana sistem demokrasi ini diyakini dapat melindungi golongan lemah.

“Dan yang kuat dibatasi kekuatannya,” ujar Megawati.

Demokrasi Pancasila juga menentang otoriterianisme dan totaliterianisme. Sebab, kedua praktik politik tersebut hanya melahirkan demokrasi sentralisme dan kekuasaan diktaktor.

Megawati mengungkap penting memiliki hubungan dan kerjasama dengan bangsa lain. Namun demikian, dengan berada dalam pergaulan internasional dan terlibat kerjasama politik serta ekonomi dengan bangsa lain, bukan berarti menyerahkan kedaulatan bangsa sendiri kepada orang lain.

Menurut Mega, semangat Konferensi Asia Afrika (KAA) dan berlanjut di Gerakan Non-Blok menjadi bukti, “Bahwa cita-cita untuk mencapai Trisakti bagi bangsanya, bukan berarti dengan cara mengeksploitasi dan menindas bangsa lain.”

Di sisi lain, globalisasi dan pasar bebas berakibat pada persoalan multidimensi. Mega mencontohkan praktik dumping dalam sektor pangan melalui permainan ‘siasat harga’ komoditi impor yang berada di bawah produk domestik. Alhasil, hasil pertanian petani kalah bersaing dengan pangan impor.

Efek dominonya adalah daya beli rakyat menurun, lapangan pekerjaan berkurang, deindustrialisasi, dan pada titik tertentu akan mengguncang stabiitas ekonomi dan politik negara.

“Dengan tegas saya nyatakan saya menolak praktik dumping, free trade bukan berarti menciptakan predator perdagangan internasional. Wajib hukumnya di dalam free trade ada fair trade,” kata Mega.

Isu pangan, kata Mega, tidak boleh sekedar diartikan sebagai ketahanan pangan yang diukur dengan ‘asal pangan tersedia di pasar’. Soal pangan adalah soal keberlangsungan hidup suatu bangsa, dari mulai hidup dan kehidupan petani, kedaulatan atas air, tanah, dan energi, hingga bagaimana pangan didistribusikan kepada seluruh rakyat dengan aman, murah dan cepat.

Di sisi lain, lahirnya kejahatan transnasional yang melibatkan bangsa lain seperti narkotika, penyebaran paham radikal, perdagangan orang, kejahatan lingkungan, lahir akibat penjajahan gaya baru atau neokolonialisme dan kapitalisme.

“Relasi dan interaksi yang melibatkan rakyat lintas negara dalam berbagai kriminalitas internasional merupakan anak kandung dari praktik-praktik penjajahan politik dan ekonomi. Kejahatan terhadap kemanusiaan, apapun bentuknya, bukan suatu antitesa dari ketidakadilan,” Mega memungkas.***

Editor : Robert

626 Total Views 1 Views Today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *