Angka Perceraian Tinggi, Kemenag Rancang Kursus Pra-nikah

Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin
RADIO SUARA WAJAR – Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, saat ini kementerian yang dipimpinnya tengah mematangkan konsep kursus pra-nikah. Inisiatif tersebut didasari pada tingginya angka perceraian di tanah air.
Lukman menilai, angka perceraian yang tinggi itu sangat memprihatinkan. Sebab di dalamnya termasuk tingginya angka kekerasan rumah tangga. Lukman melihat, bahwa lembaga perkawinan yang sesungguhnya sakral dalam perspektif agama, saat ini semakin kehilangan roh dan esensinya.
“Pada akhirnya kami di Kementerian Agama merasa begitu banyak generasi muda kita yang sesungguhnya ketika mereka memasuki lembaga perkawinan mereka belum siap secara mental dan emosional,” tutur Lukman dalam acara pembukaan rakornas Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara, Selasa (10/11/2015).
Lukman menambahkan, dari sanalah kementerian menilai permasalahan tersebut berakar dari kurangnya wawasan anak muda tentang makna perkawinan. Mereka juga dianggap tidak memilki peluang dan kesempatan untuk mendapatkan wawasan tersebut. Lukman melanjutkan, pihaknya masih menggodok konsep kursus pra-nikah tersebut dan berencana meminta masukan dari pihak-pihak terkait.
Meski begitu, Lukman berharap di masa depan kursus tersebut menjadi kursus wajib yang diikuti para remaja, tidak hanya yang akan menikah tapi juga remaja yang belum memiliki rencana menikah.
“Nantinya setiap pernikahan harus memiliki sertifikat dari kursus ini,” ungkap Lukman seperti dilansir kompas.com.
Menanggapi inisiatif tersebut, Ketua Umum MUI Ma’ruf Amin mengatakan, pihaknya perlu melihat dulu isi konsep dari kursus pra-nikah tersebut dan mengkajinya apakah sesuai dengan prinsip-prinsip agama. Menurut dia, jika memang konsepnya bagus tidak ada alasan untuk menolaknya. Jika telah mendapatkan informasi terkait konsep kursus tersebut, ia mengatakan kiai-kiai di MUI akan membahasnya.
“Kita lihat dulu isinya. Pra-nikah itu apa yang diajarkan, cocok enggak dengan prinsip, apakah wajar diajarkan atau enggak. Kalau isinya bagus kenapa tidak? Tapi kalau isinya membahayakan, ya tidak boleh,” ujar Ma’ruf.